Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein
Mengenakan perhiasan bagi wanita merupakan sesuatu yang sangat lazim. Masalahnya, tak semua perhiasan yang jamak dikenal di masyarakat yang mencocoki syariat.
أَوَمَنْ يُنَشَّؤُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبْيِنٍ
“Apakah patut (menjadi anak Allah) orang (wanita) yang dibesarkan dalam keadaan beperhiasan, sedang dia tidak dapat memberi alasan yang jelas dalam pertengkaran.” (Az-Zukhruf: 18)
Kenyataan menunjukkan, wanita memang senang berhias sebagaimana firman Allah dalam ayat yang mulia di atas. Islam pun datang menetapkan aturan, mana perhiasan yang boleh dikenakan dan mana yang terlarang. Untuk perhiasan pada wajah telah disinggung pada edisi sebelumnya. Bahasan kali ini merupakan kelanjutannya.
Berbagai jenis dan bentuk perhiasan Dibolehkan bagi wanita untuk memakai berbagai jenis perhiasan, baik yang terbuat dari emas, perak, mutiara atau yang lainnya. Sama saja apakah perhiasan itu diletakkan di telinga, tangan, ataupun kakinya. Hal ini bisa diketahui di antaranya dari hadits-hadits yang mulia berikut ini:
Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma bertutur: “Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat mengimami manusia pada hari Iedul Fithri, kemudian beliau berkhutbah. Setelah itu beliau mendatangi tempat wanita untuk memberikan peringatan dan nasehat kepada mereka dalam keadaan beliau bersandar pada tangan Bilal. Beliau mendorong mereka untuk bersedekah. Bilal pun membentangkan bajunya untuk menadah sedekah tersebut.”
Ibnu Juraij yang mendengar hadits ini dari ‘Atha, rawi yang menyampaikan riwayat dari Jabir, bertanya: “Apakah yang mereka berikan itu zakat Iedul Fithri?”. “Bukan”, kata Atha. “Tetapi itu adalah sedekah mereka pada hari tersebut,” lanjutnya. “Para wanita itu melemparkan cincin-cincin mereka dan perhiasan lainnya sebagai sedekah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 978 dan Muslim no. 885)
Dalam riwayat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma disebutkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْعِيْدِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُما وَلاَ بَعْدَهُما, ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلاَلٌ فَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدقَةِ, فَجَعَلَتِ الْمَرْأَةُ تُلقِي قُرُطَهُنَّ.
“Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat Ied dua rakaat dan tidak melaksanakan shalat sunnah sebelum dan sesudahnya. Kemudian beliau mendatangi para wanita dengan ditemani Bilal. Maka beliau memerintahkan mereka untuk bersedekah. Mendengar anjuran tersebut, mulailah wanita yang hadir melemparkan anting-antingnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5883 dan Muslim no. 884)
‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah meminjam kalung milik saudara perempuannya, Asma bintu Abi Bakar, untuk berhias di depan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Kalung ini kemudian jatuh dari ‘Aisyah dalam satu safar (perjalanan)-nya bersama Rasulullah, dan dicari oleh para shahabat hingga mereka tertahan di tempat yang tidak ada air sementara mereka hendak shalat. Dari peristiwa ini, turun syariat tayammum dalam Al Qur’an surat Al-Maidah. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 336, 5882 dan Muslim no. 367)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendapat hadiah dari raja Najasyi berupa perhiasan, di antaranya ada cincin emas bertahtakan batu permata Habasyi. Beliau mengambilnya kemudian memanggil cucunya Umamah putrinya Zainab. Lalu beliau berkata: “Berhiaslah dengan cincin ini wahai cucuku.” (HR. Abu Dawud no. 3697, dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 4/312)
Dalam kitab Shahih-nya, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah membuat bab khusus yang berjudul “Cincin bagi wanita”, dan beliau menyatakan bahwa ‘Aisyah mengenakan cincin-cincin emas. (Shahih Al-Bukhari dengan Fathul Bari, 10/342)
Berkata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah: “Kaum wanita diperkenankan memakai sutera dan seluruh jenisnya, sebagaimana dibolehkan bagi mereka memakai cincin emas dan seluruh perhiasan dari emas, demikian pula dari perak. Sama saja apakah wanita itu sudah menikah atau belum, masih muda atau sudah tua, kaya ataupun miskin.” (Syarah Shahih Muslim, 14/32)
Beliau juga menyatakan bahwa kaum muslimin bersepakat tentang bolehnya wanita memakai cincin emas. (Syarah Shahih Muslim,14/65)
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/324) berkata: “Dibolehkan bagi wanita mengenakan perhiasan dari emas, perak dan permata dengan bentuk yang biasa mereka kenakan, misalnya gelang tangan, gelang kaki, anting-anting dan cincin. Termasuk pula perhiasan yang dikenakan di wajah-wajah mereka, di leher, di tangan, di kaki, di telinga mereka dan selainnya. Adapun perhiasan yang menurut kebiasaan mereka tidak lazim dipakai seperti sabuk dan semisalnya dari perhiasan laki-laki, maka diharamkan bagi wanita memakainya.”
Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa perhiasan emas dan perak boleh dipakai wanita dengan kesepakatan ulama. (Majmu’ Fatawa, 25/64)
Selain emas, perak dan batu-batu mulia seperti berlian dan lainnya, wanita dibolehkan pula memakai perhiasan dari mutiara (al-lu’lu’). Allah ta`ala berfirman:
وَمِنْ كُلٍّ تَأْكُلُوْنَ لَحْماً طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوْنَ حِلْيَةً تَلْبَسُوْنَهَا
“Dan dari masing-masing laut itu (yang airnya tawar maupun yang asin), kalian dapat memakan daging yang segar dan kalian dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kalian pakai.” (Fathir: 12)
Ibnu Hazm berkata: “Tidak ada perhiasan yang dikeluarkan dari laut kecuali mutiara. Maka dari ayat Al Qur’an di atas, ada penetapan halalnya mutiara ini bagi lelaki maupun wanita.” (Al-Muhalla, 9/246)
Di jari mana diletakkan cincin?
‘Ali radhiallahu ‘anhu berkata:
نَهاَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَخَتَّمَ فِي إِصْبَعِي هَذِهِ أَوْ هَذِهِ. قَال: فَأَوْمَأَ ِإلىَ الْوُسْطَى وَالَّتِي تَلِيْهَا
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarangku memakai cincin di jariku ini atau yang ini”, sambil mengisyaratkan jari tengah dan jari setelahnya (jari telunjuk). (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5874 dan Muslim no. 2078)
Larangan yang disebutkan dalam hadits ‘Ali di atas berlaku bagi laki-laki sementara bagi wanita tidak diterapkan larangan demikian, karena itu Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Kaum muslimin sepakat, sunnah bagi laki-laki mengenakan cincin di jari kelingkingnya sedangkan wanita boleh memakai cincin di seluruh jarinya (Syarah Shahih Muslim, 14/71)
Melubangi daun telinga
Dalam masalah kebolehan wanita melubangi daun telinganya untuk menggantungkan anting-anting, diperselisihkan oleh ulama. Dalam Ash-Shahihain disebutkan, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan para wanita untuk bersedekah, ada di antara mereka yang menyedekahkan anting-antingnya . Hadits ini cukuplah sebagai dalil tentang bolehnya wanita memakai anting-anting.
Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Dibolehkan melubangi daun telinga anak perempuan dalam rangka berhias, demikian dinyatakan oleh Al-Imam Ahmad. Sedangkan untuk anak laki-laki beliau membencinya.
Perbedaan keduanya adalah perempuan butuh akan perhiasan sehingga ada kemaslahatan melubangi daun telinganya. Berbeda halnya dengan anak laki-laki”.
Beliau juga menyatakan bila ada yang berkata: Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan tentang musuhnya Iblis yang pernah menyatakan:
وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ اْلأَنْعَامِ
“Dan sungguh aku akan memerintahkan mereka hingga mereka benar-benar akan memotong telinga-telinga hewan ternak mereka.” (An-Nisa: 119)
Ini menunjukkan bahwa memotong telinga, membelah dan melubanginya merupakan perintah setan. Maka dijawab, bahwa qiyas ini termasuk qiyas yang paling rusak. Karena mereka yang diperintah oleh setan untuk memotong telinga hewan mereka dengan ketentuan bila seekor unta betina telah beranak sebanyak lima kali, kemudian bunting lagi untuk ke-6 kalinya dan ternyata yang lahir adalah jantan, merekapun membelah telinga unta betina tersebut. Dan mereka juga mengharamkan untuk ditunggangi serta diambil manfaatnya, tidak boleh dihalau dari sumber air yang sedang diminumnya, tidak pula dari tanaman. Mereka mengistilahkannya dengan bahirah. Setan mensyariatkan untuk mereka dengan satu syariat dari sisinya. Jika demikian, bagaimana bisa dibandingkan dengan perbuatan melubangi daun telinga anak perempuan untuk diletakkan perhiasan yang dibolehkan oleh Allah? Adapun melubangi telinga anak laki-laki maka tidak ada kemaslahatan padanya, baik dari sisi agama maupun dunia, karena itu tidaklah diperkenankan.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, hal. 178-179)
Minyak wangi
Wangi yang semerbak memberi nuansa tersendiri, melapangkan dada, dan menyenangkan hati. Sehingga wajar bila setiap insan menyukainya, termasuk Rasul kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيْبُ وَجَعَلَ قُرَّةَ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ
“Wanita dan minyak wangi dijadikan sebagai kecintaanku dari dunia ini dan shalat dijadikan sebagai penyejuk mataku.” (HR. Ahmad, 3/128. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, 1/82) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak pernah menolak bila diberikan wewangian (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5929).
Beliau menyatakan kepada shahabatnya:
مَنْ عُرِضَ عَلَيْهِ رَيْحَانٌ فَلاَ يَرُدَّهُ فَإِنَّهُ خَفِيْفُ الْمَحْمَلِ طَيِّبُ الرِّيْحِ
“Siapa yang ditawari raihan (minyak wangi) maka janganlah ia menolak, karena raihan ini ringan dibawa dan aromanya wangi.” (Shahih, HR. Muslim no. 2253)
Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya menolak tawaran berupa minyak wangi terkecuali bila seseorang memiliki udzur hingga ia terpaksa menolaknya, demikian dinyatakan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah. (Syarah Shahih Muslim, 15/10)
Seorang shahabat dari kalangan Anshar mengabarkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ثَلاَثٌ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ: الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالسِّوَاكُ وَيَمُسُّ مِنْ طِيْبٍ إِنْ وَجَدَ
“Tiga perkara yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim yaitu mandi pada hari Jum`at, bersiwak, dan menyentuh (memakai) winyak wangi jika didapatkan.” (HR. Ahmad 4/34, dishahihkan Syaikh Muqbil dalam Al Jami`ush Shahih, 4/309)
Seorang wanita juga disukai untuk selalu menebarkan keharuman dari tubuhnya di hadapan sang suami. Sehingga sepantasnya kalau ia selalu memakai minyak wangi atau yang semisalnya dari wewangian yang diperkenankan.
Adapun perbedaan antara minyak wangi laki-laki dengan minyak wangi wanita, disebutkan beritanya dari Anas radhiallahu ‘anhu. Ia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku:
إِنَّ طِيْبَ الرِّجَالِ مَا ظَهَرَ رِيْحُهُ وَخَفِيَ لَوْنُهُ وَطِيْبُ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيْحُهُ
“Minyak wangi laki-laki adalah yang tercium jelas baunya dan tidak tampak (samar) warnanya. Sedangkan minyak wangi wanita adalah yang tampak warnanya dan tersembunyi baunya.” (HR. Al Bazzar dalam Kasyful Astar, 3/376, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami`ush Shahih, 4/308)
Berkata Al-Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qadir (3/284): “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
طِيْبُ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيْحُهُ
yaitu tampak warnanya dan tersembunyi baunya dari laki-laki yang bukan mahram, seperti za’faran.”
Berkata Al-Baghawi dalam karyanya Syarhus Sunnah: “Sa’ad menyatakan: ‘Aku berpandangan, mereka membawa pengertian sabda Nabi (طِيْبُ النِّسَاءِ) ini apabila si wanita hendak keluar rumah. Adapun bila ia berada di sisi suaminya maka ia boleh memakai minyak wangi/ wewangian apa saja yang diinginkan.”
Dalam syariat yang mulia ini, diharamkan bagi wanita bila tercium wanginya oleh laki-laki selain mahramnya. Bahkan wanita yang memakai wewangian kemudian sengaja melewati sekelompok lelaki yang bukan mahramnya dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai wanita pezina.
كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ. وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا
“Setiap mata itu berzina . Bila seorang wanita memakai wewangian kemudian ia melewati majelis laki-laki (yang bukan mahramnya) maka wanita itu begini dan begitu.” (HR. At-Tirmidzi no. 2937, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, no. 2237)
Dalam riwayat Ahmad (4/414) disebutkan: “Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian, kemudian ia melewati satu kaum agar mereka mencium wanginya, maka wanita itu pezina.” (Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 4/311)
Mengapa si wanita disebut demikian? Karena ia mengobarkan syahwat lelaki dengan aroma yang berasal dari wewangian yang dipakainya. Sehingga mereka terpancing untuk memandangnya. Bila demikian, si lelaki menjadi berzina dengan kedua matanya dan si wanitalah penyebabnya, maka ia berdosa. Demikian kata Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (8/58)
Karena itu Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang wanita yang ingin ikut shalat berjamaah di masjid untuk memakai minyak wangi sebagaimana sabdanya:
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْعِشَاءَ فَلاَ تَطَيَّبْ تِلْكَ اللَّيْلَةََََََ
“Apabila salah seorang dari kalian (para wanita) ingin ikut shalat ‘Isya berjamaah (di masjid), maka janganlah ia memakai minyak wangi pada malam itu.” (Shahih, HR. Muslim no. 443)
Pun beliau melarang wanita yang terlanjur memakai wewangian untuk hadir dalam shalat berjamaah di masjid.
أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا فَلاَ تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الآخِرَةَ
“Wanita siapa saja yang memakai wewangian maka jangan ia hadir bersama kami dalam shalat ‘Isya.” (Shahih, HR. Muslim no. 444)
Semua aturan yang agung ini ditetapkan untuk menutup pintu fitnah, agar kaum lelaki tidak terfitnah dengan wanita dan demikian juga sebaliknya.
Demikian apa yang dapat kami susun untuk pembaca, semoga Allah menjadikannya bermanfaat. Wallahu ta`ala a`lam bish-shawab.
Sumber: Majalah Asy-Syari’ah
http://abusyuja.wordpress.com/2010/11/04/di-balik-kemilau-hiasanmu/
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein
Mengenakan perhiasan bagi wanita merupakan sesuatu yang sangat lazim. Masalahnya, tak semua perhiasan yang jamak dikenal di masyarakat yang mencocoki syariat.
أَوَمَنْ يُنَشَّؤُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبْيِنٍ
“Apakah patut (menjadi anak Allah) orang (wanita) yang dibesarkan dalam keadaan beperhiasan, sedang dia tidak dapat memberi alasan yang jelas dalam pertengkaran.” (Az-Zukhruf: 18)
Kenyataan menunjukkan, wanita memang senang berhias sebagaimana firman Allah dalam ayat yang mulia di atas. Islam pun datang menetapkan aturan, mana perhiasan yang boleh dikenakan dan mana yang terlarang. Untuk perhiasan pada wajah telah disinggung pada edisi sebelumnya. Bahasan kali ini merupakan kelanjutannya.
Berbagai jenis dan bentuk perhiasan Dibolehkan bagi wanita untuk memakai berbagai jenis perhiasan, baik yang terbuat dari emas, perak, mutiara atau yang lainnya. Sama saja apakah perhiasan itu diletakkan di telinga, tangan, ataupun kakinya. Hal ini bisa diketahui di antaranya dari hadits-hadits yang mulia berikut ini:
Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma bertutur: “Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat mengimami manusia pada hari Iedul Fithri, kemudian beliau berkhutbah. Setelah itu beliau mendatangi tempat wanita untuk memberikan peringatan dan nasehat kepada mereka dalam keadaan beliau bersandar pada tangan Bilal. Beliau mendorong mereka untuk bersedekah. Bilal pun membentangkan bajunya untuk menadah sedekah tersebut.”
Ibnu Juraij yang mendengar hadits ini dari ‘Atha, rawi yang menyampaikan riwayat dari Jabir, bertanya: “Apakah yang mereka berikan itu zakat Iedul Fithri?”. “Bukan”, kata Atha. “Tetapi itu adalah sedekah mereka pada hari tersebut,” lanjutnya. “Para wanita itu melemparkan cincin-cincin mereka dan perhiasan lainnya sebagai sedekah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 978 dan Muslim no. 885)
Dalam riwayat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma disebutkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْعِيْدِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُما وَلاَ بَعْدَهُما, ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلاَلٌ فَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدقَةِ, فَجَعَلَتِ الْمَرْأَةُ تُلقِي قُرُطَهُنَّ.
“Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat Ied dua rakaat dan tidak melaksanakan shalat sunnah sebelum dan sesudahnya. Kemudian beliau mendatangi para wanita dengan ditemani Bilal. Maka beliau memerintahkan mereka untuk bersedekah. Mendengar anjuran tersebut, mulailah wanita yang hadir melemparkan anting-antingnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5883 dan Muslim no. 884)
‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah meminjam kalung milik saudara perempuannya, Asma bintu Abi Bakar, untuk berhias di depan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Kalung ini kemudian jatuh dari ‘Aisyah dalam satu safar (perjalanan)-nya bersama Rasulullah, dan dicari oleh para shahabat hingga mereka tertahan di tempat yang tidak ada air sementara mereka hendak shalat. Dari peristiwa ini, turun syariat tayammum dalam Al Qur’an surat Al-Maidah. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 336, 5882 dan Muslim no. 367)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendapat hadiah dari raja Najasyi berupa perhiasan, di antaranya ada cincin emas bertahtakan batu permata Habasyi. Beliau mengambilnya kemudian memanggil cucunya Umamah putrinya Zainab. Lalu beliau berkata: “Berhiaslah dengan cincin ini wahai cucuku.” (HR. Abu Dawud no. 3697, dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 4/312)
Dalam kitab Shahih-nya, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah membuat bab khusus yang berjudul “Cincin bagi wanita”, dan beliau menyatakan bahwa ‘Aisyah mengenakan cincin-cincin emas. (Shahih Al-Bukhari dengan Fathul Bari, 10/342)
Berkata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah: “Kaum wanita diperkenankan memakai sutera dan seluruh jenisnya, sebagaimana dibolehkan bagi mereka memakai cincin emas dan seluruh perhiasan dari emas, demikian pula dari perak. Sama saja apakah wanita itu sudah menikah atau belum, masih muda atau sudah tua, kaya ataupun miskin.” (Syarah Shahih Muslim, 14/32)
Beliau juga menyatakan bahwa kaum muslimin bersepakat tentang bolehnya wanita memakai cincin emas. (Syarah Shahih Muslim,14/65)
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/324) berkata: “Dibolehkan bagi wanita mengenakan perhiasan dari emas, perak dan permata dengan bentuk yang biasa mereka kenakan, misalnya gelang tangan, gelang kaki, anting-anting dan cincin. Termasuk pula perhiasan yang dikenakan di wajah-wajah mereka, di leher, di tangan, di kaki, di telinga mereka dan selainnya. Adapun perhiasan yang menurut kebiasaan mereka tidak lazim dipakai seperti sabuk dan semisalnya dari perhiasan laki-laki, maka diharamkan bagi wanita memakainya.”
Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa perhiasan emas dan perak boleh dipakai wanita dengan kesepakatan ulama. (Majmu’ Fatawa, 25/64)
Selain emas, perak dan batu-batu mulia seperti berlian dan lainnya, wanita dibolehkan pula memakai perhiasan dari mutiara (al-lu’lu’). Allah ta`ala berfirman:
وَمِنْ كُلٍّ تَأْكُلُوْنَ لَحْماً طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوْنَ حِلْيَةً تَلْبَسُوْنَهَا
“Dan dari masing-masing laut itu (yang airnya tawar maupun yang asin), kalian dapat memakan daging yang segar dan kalian dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kalian pakai.” (Fathir: 12)
Ibnu Hazm berkata: “Tidak ada perhiasan yang dikeluarkan dari laut kecuali mutiara. Maka dari ayat Al Qur’an di atas, ada penetapan halalnya mutiara ini bagi lelaki maupun wanita.” (Al-Muhalla, 9/246)
Di jari mana diletakkan cincin?
‘Ali radhiallahu ‘anhu berkata:
نَهاَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَخَتَّمَ فِي إِصْبَعِي هَذِهِ أَوْ هَذِهِ. قَال: فَأَوْمَأَ ِإلىَ الْوُسْطَى وَالَّتِي تَلِيْهَا
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarangku memakai cincin di jariku ini atau yang ini”, sambil mengisyaratkan jari tengah dan jari setelahnya (jari telunjuk). (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5874 dan Muslim no. 2078)
Larangan yang disebutkan dalam hadits ‘Ali di atas berlaku bagi laki-laki sementara bagi wanita tidak diterapkan larangan demikian, karena itu Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Kaum muslimin sepakat, sunnah bagi laki-laki mengenakan cincin di jari kelingkingnya sedangkan wanita boleh memakai cincin di seluruh jarinya (Syarah Shahih Muslim, 14/71)
Melubangi daun telinga
Dalam masalah kebolehan wanita melubangi daun telinganya untuk menggantungkan anting-anting, diperselisihkan oleh ulama. Dalam Ash-Shahihain disebutkan, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan para wanita untuk bersedekah, ada di antara mereka yang menyedekahkan anting-antingnya . Hadits ini cukuplah sebagai dalil tentang bolehnya wanita memakai anting-anting.
Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Dibolehkan melubangi daun telinga anak perempuan dalam rangka berhias, demikian dinyatakan oleh Al-Imam Ahmad. Sedangkan untuk anak laki-laki beliau membencinya.
Perbedaan keduanya adalah perempuan butuh akan perhiasan sehingga ada kemaslahatan melubangi daun telinganya. Berbeda halnya dengan anak laki-laki”.
Beliau juga menyatakan bila ada yang berkata: Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan tentang musuhnya Iblis yang pernah menyatakan:
وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ اْلأَنْعَامِ
“Dan sungguh aku akan memerintahkan mereka hingga mereka benar-benar akan memotong telinga-telinga hewan ternak mereka.” (An-Nisa: 119)
Ini menunjukkan bahwa memotong telinga, membelah dan melubanginya merupakan perintah setan. Maka dijawab, bahwa qiyas ini termasuk qiyas yang paling rusak. Karena mereka yang diperintah oleh setan untuk memotong telinga hewan mereka dengan ketentuan bila seekor unta betina telah beranak sebanyak lima kali, kemudian bunting lagi untuk ke-6 kalinya dan ternyata yang lahir adalah jantan, merekapun membelah telinga unta betina tersebut. Dan mereka juga mengharamkan untuk ditunggangi serta diambil manfaatnya, tidak boleh dihalau dari sumber air yang sedang diminumnya, tidak pula dari tanaman. Mereka mengistilahkannya dengan bahirah. Setan mensyariatkan untuk mereka dengan satu syariat dari sisinya. Jika demikian, bagaimana bisa dibandingkan dengan perbuatan melubangi daun telinga anak perempuan untuk diletakkan perhiasan yang dibolehkan oleh Allah? Adapun melubangi telinga anak laki-laki maka tidak ada kemaslahatan padanya, baik dari sisi agama maupun dunia, karena itu tidaklah diperkenankan.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, hal. 178-179)
Minyak wangi
Wangi yang semerbak memberi nuansa tersendiri, melapangkan dada, dan menyenangkan hati. Sehingga wajar bila setiap insan menyukainya, termasuk Rasul kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيْبُ وَجَعَلَ قُرَّةَ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ
“Wanita dan minyak wangi dijadikan sebagai kecintaanku dari dunia ini dan shalat dijadikan sebagai penyejuk mataku.” (HR. Ahmad, 3/128. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, 1/82) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak pernah menolak bila diberikan wewangian (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5929).
Beliau menyatakan kepada shahabatnya:
مَنْ عُرِضَ عَلَيْهِ رَيْحَانٌ فَلاَ يَرُدَّهُ فَإِنَّهُ خَفِيْفُ الْمَحْمَلِ طَيِّبُ الرِّيْحِ
“Siapa yang ditawari raihan (minyak wangi) maka janganlah ia menolak, karena raihan ini ringan dibawa dan aromanya wangi.” (Shahih, HR. Muslim no. 2253)
Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya menolak tawaran berupa minyak wangi terkecuali bila seseorang memiliki udzur hingga ia terpaksa menolaknya, demikian dinyatakan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah. (Syarah Shahih Muslim, 15/10)
Seorang shahabat dari kalangan Anshar mengabarkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ثَلاَثٌ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ: الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالسِّوَاكُ وَيَمُسُّ مِنْ طِيْبٍ إِنْ وَجَدَ
“Tiga perkara yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim yaitu mandi pada hari Jum`at, bersiwak, dan menyentuh (memakai) winyak wangi jika didapatkan.” (HR. Ahmad 4/34, dishahihkan Syaikh Muqbil dalam Al Jami`ush Shahih, 4/309)
Seorang wanita juga disukai untuk selalu menebarkan keharuman dari tubuhnya di hadapan sang suami. Sehingga sepantasnya kalau ia selalu memakai minyak wangi atau yang semisalnya dari wewangian yang diperkenankan.
Adapun perbedaan antara minyak wangi laki-laki dengan minyak wangi wanita, disebutkan beritanya dari Anas radhiallahu ‘anhu. Ia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku:
إِنَّ طِيْبَ الرِّجَالِ مَا ظَهَرَ رِيْحُهُ وَخَفِيَ لَوْنُهُ وَطِيْبُ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيْحُهُ
“Minyak wangi laki-laki adalah yang tercium jelas baunya dan tidak tampak (samar) warnanya. Sedangkan minyak wangi wanita adalah yang tampak warnanya dan tersembunyi baunya.” (HR. Al Bazzar dalam Kasyful Astar, 3/376, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami`ush Shahih, 4/308)
Berkata Al-Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qadir (3/284): “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
طِيْبُ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيْحُهُ
yaitu tampak warnanya dan tersembunyi baunya dari laki-laki yang bukan mahram, seperti za’faran.”
Berkata Al-Baghawi dalam karyanya Syarhus Sunnah: “Sa’ad menyatakan: ‘Aku berpandangan, mereka membawa pengertian sabda Nabi (طِيْبُ النِّسَاءِ) ini apabila si wanita hendak keluar rumah. Adapun bila ia berada di sisi suaminya maka ia boleh memakai minyak wangi/ wewangian apa saja yang diinginkan.”
Dalam syariat yang mulia ini, diharamkan bagi wanita bila tercium wanginya oleh laki-laki selain mahramnya. Bahkan wanita yang memakai wewangian kemudian sengaja melewati sekelompok lelaki yang bukan mahramnya dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai wanita pezina.
كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ. وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا
“Setiap mata itu berzina . Bila seorang wanita memakai wewangian kemudian ia melewati majelis laki-laki (yang bukan mahramnya) maka wanita itu begini dan begitu.” (HR. At-Tirmidzi no. 2937, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, no. 2237)
Dalam riwayat Ahmad (4/414) disebutkan: “Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian, kemudian ia melewati satu kaum agar mereka mencium wanginya, maka wanita itu pezina.” (Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 4/311)
Mengapa si wanita disebut demikian? Karena ia mengobarkan syahwat lelaki dengan aroma yang berasal dari wewangian yang dipakainya. Sehingga mereka terpancing untuk memandangnya. Bila demikian, si lelaki menjadi berzina dengan kedua matanya dan si wanitalah penyebabnya, maka ia berdosa. Demikian kata Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (8/58)
Karena itu Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang wanita yang ingin ikut shalat berjamaah di masjid untuk memakai minyak wangi sebagaimana sabdanya:
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْعِشَاءَ فَلاَ تَطَيَّبْ تِلْكَ اللَّيْلَةََََََ
“Apabila salah seorang dari kalian (para wanita) ingin ikut shalat ‘Isya berjamaah (di masjid), maka janganlah ia memakai minyak wangi pada malam itu.” (Shahih, HR. Muslim no. 443)
Pun beliau melarang wanita yang terlanjur memakai wewangian untuk hadir dalam shalat berjamaah di masjid.
أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا فَلاَ تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الآخِرَةَ
“Wanita siapa saja yang memakai wewangian maka jangan ia hadir bersama kami dalam shalat ‘Isya.” (Shahih, HR. Muslim no. 444)
Semua aturan yang agung ini ditetapkan untuk menutup pintu fitnah, agar kaum lelaki tidak terfitnah dengan wanita dan demikian juga sebaliknya.
Demikian apa yang dapat kami susun untuk pembaca, semoga Allah menjadikannya bermanfaat. Wallahu ta`ala a`lam bish-shawab.
Sumber: Majalah Asy-Syari’ah
http://abusyuja.wordpress.com/2010/11/04/di-balik-kemilau-hiasanmu/
0 comment:
Posting Komentar